Gelar FGD, Poltekpar Makassar Dorong Pengelolaan Wisata Bahari Berkelanjutan

$rows[judul]

Eksplisit.Com,Makassar - II Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Makassar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Penyusunan Policy Brief Kajian Kebijakan Pengelolaan Wisata Bahari: Strategi Berkelanjutan untuk Penguatan Regulasi dan Pelestarian Ekosistem Bahari di Co-Working Space, Poltekpar Makassar, Jumat (21/11/2025).

FGD yang diinisiasi Unit Center of Excellence for Marine Tourism ini dipandu akademisi Poltekpar Makassar, Islahuddin, dan dihadiri Direktur Poltekpar Makassar, Herry Rachmat Widjaja.

Sejumlah akademisi serta praktisi maritim juga terlibat aktif memberikan pandangan. Di antaranya, Prof Ambo Tuwo, DEA, Prof Hamka Naping, Andi Januar Jaury Dharwis.

Guru Besar FIKP Universitas Hasanuddin sekaligus Konsul Kehormatan Prancis di Indonesia, Prof Ambo Tuwo, menyampaikan fakta mencemaskan: ekosistem laut di Kawasan Indonesia Timur telah berada pada titik kritis.

“Hampir seluruh ekosistem bahari di Indonesia Timur mengalami kerusakan. Banyak spot unggulan sudah tidak layak lagi untuk live aboard maupun aktivitas wisata lainnya,” ujarnya.

Kerusakan tersebut membuat pelaku industri wisata bahari semakin kesulitan menentukan lokasi kunjungan bagi wisatawan. “Operator bingung mau turunkan wisatawan di mana. Spot-spotnya rusak,” tegasnya.

Selain kondisi ekosistem, ia menilai masih lemahnya kapasitas operator wisata lokal. Dominasi operator asing disebut jauh lebih unggul dalam jaringan dan daya tarik wisatawan berdaya beli tinggi.

“Tarif live aboard bisa sampai ratusan juta rupiah per perjalanan, tapi tanpa operator yang mendatangkan pengunjung, destinasi tidak ada artinya.”

Ia juga menyoroti buruknya promosi dan aksesibilitas destinasi. Untuk mencapai Taka Bonerate, misalnya, wisatawan membutuhkan perjalanan dua hingga tiga hari karena terbatasnya transportasi.

“Waktu wisatanya habis di perjalanan,” kritiknya.

Pandangan kritis turut disampaikan Andi Januar Jaury Dharwis. Menurutnya, problem inti pengelolaan bahari bukan sekadar ekosistem dan promosi, tetapi keruwetan regulasi dan disharmoni kewenangan.

“Yang memanfaatkan ruang laut itu masyarakat kabupaten/kota. Tapi kewenangan mereka terbatas. Ego sektoral antara pusat, provinsi, dan daerah menjadi penghambat terbesar.”

Dia juga menyoroti rendahnya prioritas anggaran pada sektor bahari, terutama di Provinsi Sulawesi Selatan.

“Sulsel punya garis pantai hampir 2.000 kilometer dan lebih dari 300 pulau, tapi anggaran untuk bahari tidak sampai 0,5 persen dari total APBD. Ini jauh dari cukup..

Januar memperingatkan bahwa berbagai kajian maritim akan kembali menguap bila tidak dijembatani secara strategis ke pusat pengambil kebijakan. Karena itu, ia mendorong Poltekpar Makassar mengambil peran sebagai pusat kajian nasional maritim‐pariwisata.

“Kalau ekosistem wisata bahari terbentuk, industri pariwisata alam akan tumbuh, nelayan punya alternatif sumber pendapatan, dan nilai tukar ekonomi mereka ikut naik,” tutupnya.

FGD menghasilkan sejumlah poin strategis yang akan dirumuskan dalam policy brief untuk direkomendasikan pada pemerintah pusat serta pemangku kepentingan pariwisata:

Harmonisasi regulasi lintas pemerintahan

Pemulihan ekosistem bahari berbasis keberlanjutan

Penguatan operator dan promosi wisata bahari lokal

Peningkatan aksesibilitas transportasi destinasi unggulan

Penambahan alokasi anggaran sektor kemaritiman

Poltekpar Makassar menegaskan komitmennya menindaklanjuti hasil FGD kepada kementerian terkait sebagai upaya memperkuat keberlanjutan industri wisata bahari di Indonesia Timur.

Dengan kolaborasi regulatif dan investasi ekosistem, Indonesia Timur bukan hanya menjadi destinasi, tetapi masa depan pariwisata bahari Indonesia. (*)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)