Eksplisit.Com,Makassar - II Dalam setiap bidikan foto, ada sepotong kisah yang tak selalu diucapkan. Dalam setiap cahaya yang ditangkap, tersimpan makna yang sering tak terlihat mata.
Dan dalam diri seorang Muhammad Idham Ama, dunia gambar dan dunia gagasan saling bertaut — membentuk sosok yang tak sekadar mencatat sejarah, tapi juga menafsirkan kehidupan.
Pada Rabu (3/9/2025), Idham resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin. Sidang promosi yang digelar di Hotel Unhas itu penuh keharuan. Dalam pidatonya, Idham menyebut perjalanan akademiknya sebagai ujian kesabaran yang panjang.
“Hari ini saya belajar bahwa perjuangan bukan tentang siapa yang tercepat, melainkan siapa yang paling sabar bertahan hingga akhir,” ungkapnya.
Disertasinya berjudul “Eksistensi Jurnalis Foto di Era Digital”. Riset ini menyoroti bagaimana profesi jurnalis foto beradaptasi di tengah derasnya arus digitalisasi dan munculnya teknologi kecerdasan buatan.
Idham menekankan bahwa meski algoritma mampu menghasilkan gambar, ada sisi yang tak tergantikan: kepekaan, empati, dan keberanian hadir langsung di lapangan.
“Teknologi boleh menciptakan gambar, tetapi ia tidak bisa merekam nurani. Jurnalis foto bukan hanya memotret dengan kamera, tetapi juga dengan hati,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa eksistensi jurnalis foto ditopang oleh tiga hal utama: kredibilitas karya, kemampuan adaptasi terhadap teknologi, dan kekuatan narasi visual.
Menurutnya, foto jurnalistik tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi, tetapi juga sebagai instrumen demokrasi yang menjaga publik tetap kritis terhadap realitas sosial.
Dalam kesempatan itu, Idham menyampaikan penghargaan mendalam kepada promotor dan co-promotor, yakni Dr. Muliadi Mau, S.Sos., M.Si. dan Dr. H. Das’ad Latif, S.Sos., S.Ag., M.Si., Ph.D.. “Beliau berdua bukan hanya pembimbing, tetapi juga penolong dalam perjalanan akademik ini,” ujarnya dengan penuh hormat.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para penguji internal: Prof. Dr. H. Muh. Akbar, M.Si., Dr. H. M. Iqbal Sultan, M.Si., dan Dr. H. Muhammad Farid, M.Si.. Secara khusus, ia memberikan penghormatan kepada Prof. Dr. Muslimin Machmud, M.Si., penguji eksternal dari Universitas Muhammadiyah Malang, yang meluangkan waktu hadir jauh-jauh dari Jawa Timur.
Lahir di Parepare pada 24 Juli 1990, kota kelahiran Presiden B.J. Habibie, Idham tumbuh dalam keluarga pengajar yang menanamkan nilai dedikasi pada pendidikan.
Karier jurnalistiknya dimulai di Harian Fajar, hingga dipercaya menduduki posisi Redaktur Foto. Ia kerap meliput peristiwa besar, termasuk gempa Mamuju 2021, dan mendampingi sejumlah kepala negara dalam kunjungan kerja di Sulawesi Selatan.
Prestasi demi prestasi ia raih, seperti Foto Terbaik IPMA 2020 dan Juara II Vale Photography Contest 2019. Namun bagi Idham, yang lebih penting dari penghargaan adalah bagaimana foto mampu menjadi jendela kemanusiaan.
Di tengah kiprahnya, Idham tak pernah lupa keluarga. Gelar doktor ini dipersembahkannya untuk almarhum ayahnya, Drs. Muhammad Ilham, yang wafat ketika ia masih duduk di kelas dua SD. Ia juga berterima kasih kepada ibunda Hj. Mawardiana, anaknya Ahmad Kaili Malomo, serta tante-tantenya yang semuanya guru dan menjadi teladan dalam dedikasi pendidikan.
Kini, Idham berdiri di titik pertemuan antara pengalaman dan teori. Ia tidak meninggalkan kamera, tetapi memberinya dimensi baru melalui penelitian akademik.
“Sebuah foto bukan sekadar gambar yang dibekukan waktu, melainkan saksi bisu dari sejarah, perasaan, dan perjuangan manusia,” tuturnya.
Dengan gelar Doktor, Idham menegaskan komitmennya untuk terus merawat fotografi jurnalistik — bukan hanya sebagai profesi, melainkan sebagai penjaga cerita, perangkai makna, dan perawat sejarah dalam bentuk cahaya. (*)
Tulis Komentar