Eksplisit.Com,Makassar - II Jam di layar menunjukkan pukul 15.00 WITAm Senin sore, 18 Agustus 2025. Di banyak rumah, kantor kecil, hingga ruang kerja jurnalis, notifikasi Zoom berbunyi.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Webinar bukan sekadar webinar. IWO Sulawesi Selatan menggelarnya di hari yang masih hangat oleh gema kemerdekaan.
Usia republik sudah 80 tahun. IWO sendiri 13 tahun. Dan keduanya, entah kebetulan atau takdir, sama-sama dirayakan dengan tema besar: mengabdi untuk Indonesia yang cerdas.
Yang membuat acara ini tak lagi sekadar kumpul daring, adalah siarannya yang langsung ditangkap oleh Kat TV Katasulsel.com.
Streaming ini membuka pintu lebih lebar. Mereka yang tak sempat masuk Zoom, cukup membuka Kat TV. Seperti menonton sebuah tayangan langsung, tetapi penuh ide dan pemikiran.
Di layar, muncul dua tokoh yang sudah lama berkecimpung dengan dunia pengetahuan dan etika jurnalisme.
Ismail Suardi Wekke, anggota Komite Saintifik Southeast Asia Academic Movement, memulai dengan tenang.
Ia bicara soal jurnalisme yang kini seperti berada di simpang jalan. Mau tetap menjadi tiang demokrasi, atau terseret arus algoritma media sosial.
Kalimatnya sederhana, tapi maknanya panjang: kecerdasan bangsa bukan hanya soal ijazah, tapi juga soal bagaimana kita menjaga ruang publik yang sehat.
Setelahnya, tampil Zulkarnain Hamson. Akademisi, peneliti, juga anggota Dewan Etik IWO Sulsel. Nada suaranya tegas.
“Kemerdekaan pers bukanlah lisensi tanpa batas,” katanya.
Satu kalimat itu saja sudah bisa jadi judul berita. Ia melanjutkan: ada tanggung jawab moral yang melekat, yang tak bisa dilepaskan. Etika, menurutnya, adalah pagar terakhir sebelum kebebasan berubah menjadi bumerang.
Di tengah keduanya, ada Zulkifli Tahir. Moderator yang menjaga percakapan tetap hidup. Tidak kaku. Sesekali ia melontarkan pancingan, lalu membiarkan diskusi mengalir.
Para peserta dari Sulsel dan luar daerah menambahkan bumbu: pertanyaan kritis, pengalaman lapangan, juga kegelisahan sehari-hari.
Dari luar, webinar ini mungkin terlihat sederhana: sekumpulan orang berbicara di layar. Tapi bagi mereka yang hadir, ada rasa lain.
Bahwa di usia ke-13, IWO bukan sekadar wadah wartawan online. Ia sedang membuktikan diri: ikut bertanggung jawab dalam merawat akal sehat bangsa.
Dan justru di situlah menariknya. Di hari-hari ketika banyak orang lebih sibuk dengan gegap gempita perayaan kemerdekaan, IWO memilih ruang sunyi: diskusi daring.
Tapi dari ruang sunyi itu, lahirlah gema yang jauh lebih keras—tentang makna merdeka, tentang pers yang cerdas, dan tentang Indonesia yang masih terus belajar.(*)
Tulis Komentar